Banyaknya kegiatan dan aktifitas
anak-anak Indonesia membuat sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah.
Kondisi tersebut membawa konsekuensi yang menempatkan anak-anak sebagai
pengambil keputusan utama atas jumlah, jenis varian dan kualitas asupan gizi
yang dikonsumsinya setiap hari. “Penelitian kami menunjukkan bahwa 70 persen
konsumsi harian anak sekolah dasar dilakukan di luar rumah.
Mereka mendapatkan uang saku dan kemudian dibelanjakannya untuk membeli jajan, membeli makanan, minuman dan cemilan yang mereka suka. Sehingga pengambil keputusan utama makanan-minuman yang mereka beli, yang mereka konsumsi, adalah mereka sendiri, bukan lagi orang tua,” ujar Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, seorang pakar gizi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI Pangan) Indonesia, di Jakarta, akhir pekan. Dengan adanya fenomena tersebut, menurut Hardinsyah, kalangan orang tua diharapkan dapat memberikan pemahaman yang tepat dan benar terhadap anak-anak dalam memilih produk-produk makanan dan minuman apa saja yang baik dan bermanfaat terhadap pertumbuhannya.
Pandangan Hardinsyah tersebut dibenarkan oleh Isabella Silalahi, Brand Director PT Danone Dairy Indonesia. Dengan banyaknya produk makanan-minuman yang beredar di pasaran dan tidak semuanya baik untuk kesehatan tubuh anak, menurut Isabella, orang tua harus peduli terhadap kesadaran dan pemahaman anak terhadap kebutuhan gizi dan pangan demi mendukung pertumbuhannya. “Misalnya saja dalam hal minuman.
Berdasarkan survey yang kami lakukan, anak-anak menganggap bahwa kebutuhan minum hanyalah semata-mata menghilangkan rasa haus, sehingga yang dipilih cenderung adalah jenis menuman yang sebatas membawa rasa segar. Meskipun mungkin (minuman) itu tidak banyak mengandung gizi yang mereka butuhkan,” tutur Isabella. Dalam survey yang dilakukannya tersebut, Isabella menjelaskan, terungkap data bahwa konsumsi susu bagi anak-anak Indonesia usia lima sampai delapan tahun hanya 11,2 persen dari toal konsumsi per kapita. Persentase tersebut semakin menurun hingga hanya mencapai empat persen bagi anak-anak di usia 15 tahun sampai 17 tahun.
“Karena yang dipilih adalah minuman yang menghilangkan rasa haus dan menyegarkan, maka susu bukan menjadi pilihan favorit bagi anak-anak. Mereka lebih senang jenis minuman ringan yang ironisnya terkadang tidak banyak mengandung zat gizi sesuai kebutuhan anak-anak. Belum lagi faktor psikologis pada anak-anak usia menginjak remaja, seperti usia 15 tahun sampai 17 tahun yang justru merasa malu, merasa gengsi bila mengonsumsi susu. Ini harus menjadi perhatian bagi orang tua dalam memberikan pemahaman yang benar terhadap anak-anaknya,” tegas Isabella.
Mereka mendapatkan uang saku dan kemudian dibelanjakannya untuk membeli jajan, membeli makanan, minuman dan cemilan yang mereka suka. Sehingga pengambil keputusan utama makanan-minuman yang mereka beli, yang mereka konsumsi, adalah mereka sendiri, bukan lagi orang tua,” ujar Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, seorang pakar gizi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI Pangan) Indonesia, di Jakarta, akhir pekan. Dengan adanya fenomena tersebut, menurut Hardinsyah, kalangan orang tua diharapkan dapat memberikan pemahaman yang tepat dan benar terhadap anak-anak dalam memilih produk-produk makanan dan minuman apa saja yang baik dan bermanfaat terhadap pertumbuhannya.
Pandangan Hardinsyah tersebut dibenarkan oleh Isabella Silalahi, Brand Director PT Danone Dairy Indonesia. Dengan banyaknya produk makanan-minuman yang beredar di pasaran dan tidak semuanya baik untuk kesehatan tubuh anak, menurut Isabella, orang tua harus peduli terhadap kesadaran dan pemahaman anak terhadap kebutuhan gizi dan pangan demi mendukung pertumbuhannya. “Misalnya saja dalam hal minuman.
Berdasarkan survey yang kami lakukan, anak-anak menganggap bahwa kebutuhan minum hanyalah semata-mata menghilangkan rasa haus, sehingga yang dipilih cenderung adalah jenis menuman yang sebatas membawa rasa segar. Meskipun mungkin (minuman) itu tidak banyak mengandung gizi yang mereka butuhkan,” tutur Isabella. Dalam survey yang dilakukannya tersebut, Isabella menjelaskan, terungkap data bahwa konsumsi susu bagi anak-anak Indonesia usia lima sampai delapan tahun hanya 11,2 persen dari toal konsumsi per kapita. Persentase tersebut semakin menurun hingga hanya mencapai empat persen bagi anak-anak di usia 15 tahun sampai 17 tahun.
“Karena yang dipilih adalah minuman yang menghilangkan rasa haus dan menyegarkan, maka susu bukan menjadi pilihan favorit bagi anak-anak. Mereka lebih senang jenis minuman ringan yang ironisnya terkadang tidak banyak mengandung zat gizi sesuai kebutuhan anak-anak. Belum lagi faktor psikologis pada anak-anak usia menginjak remaja, seperti usia 15 tahun sampai 17 tahun yang justru merasa malu, merasa gengsi bila mengonsumsi susu. Ini harus menjadi perhatian bagi orang tua dalam memberikan pemahaman yang benar terhadap anak-anaknya,” tegas Isabella.
Sumber : Jurnas.com