Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak. Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan operasionalnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak.
Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.
Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.
Delapan belas tahun yang lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan ratifikasi Konvensi Hak Anak.5 Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak, Jenewa,6 lebih banyak anak bersekolah dibandingkan di masa sebelumnya, lebih banyak anak mulai terlibat aktif dalam keputusan menyangkut kehidupan mereka, dan sudah tersusun pula peraturan perundang-undangan penting yang melindungi anak.7 Kondisi ini menjadi point penting dalam mempercepat pembentukan KLA.
Namun hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.
Keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat yang menjadi penentu keberhasilan dalam mempercepat terwujudnya komitmen negara belum mendapat bantuan dan bimbingan secara teratur, terorganisasi, dan terjadwal. Tanggung jawab utama untuk melindungi, mendidik dan mengembangkan anak terletak pada keluarga. Akan tetapi segenap lembaga pemerintah dan masyarakat belum banyak membantu. Seharusnya lembaga tersebut menghormati hak anak dan menjamin kesejahteraan anak serta memberikan bantuan dan bimbingan yang layak bagi orangtua, keluarga, wali, dan pihak-pihak yang mengasuh anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan stabil serta suasana yang bahagia, penuh kasih dan pengertian. Selain itu, ada pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtu mengenai arti anak. Pada sebagian orangtua memahami anak sebagai ‘amanah’ dan ‘titipan’ yang harus dilindungi dan dihargai. Sedangkan pada sebagian orangtua ‘anak’ sebagai ‘aset keluarga’ dan ‘anak harus mengerti orangtua8’. Pemahaman yang terakhir ini kadang-kadang anak menjadi korban perdagangan anak, eksploitasi ekonomi dan seksual, serta tumbuh dan berkembangnya terabaikan.
Persoalan lain yang cukup dasar adalah kemiskinan yang menjadi satu-satunya kendala terbesar yang merintangi upaya memenuhi kebutuhan, melindungi dan menghormati hak anak. Seharusnya hal ini mendapat perhatian dan sokongan dari pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi persoalan ini di berbagai kabupaten dan kota belum terencana dengan baik dari penciptaan lapangan kerja, ketersediaan mikro-kredit sampai investasi di bidang infrastruktur. Anak-anak adalah warga yang paling terpukul oleh kemiskinan, karena kemiskinan itu sangat mendera mereka untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Prof. Irwanto, PhD bahwa “Salah satu paradoks pembangunan manusia modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika ekonomi membaik dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak tidak menjadi prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik berkecamuk, kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak menjadi korban atau dijadikan tumbal untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa”.
Media masa belum mengambil peran secara proporsional. Isu-isu anak selalu kalah dalam berebut ‘kapling’ atau ruang di media masa, cetak maupun elektronik, dan selalu kalah bersaing dengan isu-isu politik yang mendominasi pemberitaan di media. Konsekuensi adalah bahwa opini dan pemahaman publik terhadap isu-isu anak tertinggal sangat jauh dari yang semestinya. Bila ditemui media yang mengangkat isu anak dalam segmen acara ataupun porsi pemberitaannya kesan yang timbul justru potensi pelecehan terhadap hak anak. Karena menempatkan anak sebagai obyek program sehingga sangat banyak ditemui pemberitaan dan program dalam media masa yang justru menjauhkan anak-anak dari originalitas budayanya dan bahkan membuat anak-anak Indonesia terkontaminasi oleh budaya asing.
Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada tantangan besar untuk mempercepat implementasi hak anak di tingkat orangtua, masyarakat, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional pada masa kini dan masa datang. Padahal masalah bukan hanya anak, namun, jika kita tidak segera berinisatif, dikhawatirkan kepentingan terbaik bagi anak terabaikan. Artinya, hak tumbuh dan berkembang mereka kurang optimal, yang akan berujung pada hilangnya satu generasi bangsa.
Prasyarat Mewujudkan KLA
Mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu pra-syarat untuk mencapainya. Pra-syarat yang dimaksud adalah:
a. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.
b. Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi.
c. Sosialisasi hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan orang dewasa.
d. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya sedia peraturan perundangan mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
e. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pembuatan keputusan.
f. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.
g. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
h. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.
Mewujudkan KLA
KLA adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak:
a. keputusannya mempengaruhi kotanya;
b. dapat mengekspresikan pendapatnya mengenai kota yang mereka inginkan;
c. dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
d. dapat mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
e. dapat mengakses air minum segar dan tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang baik;
f. terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penelantaran;
g. merasa aman berjalan di jalan;
h. dapat bertemu dan bermain dengan temannya;
i. hidup di lingkungan yang bebas polusi;
j. berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
k. secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Kunci sukses untuk mewujudkan kota layak bagi anak adalah adanya keikhlasan dan ketulusan orang dewasa mengutamakan kepentingan terbaik anak. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa anak belum menjadi pertimbagan utama dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan. Sehingga, dampak pembangunan kurang optimal untuk mempersiapkan suatu generasi yang tangguh. Pembangunan bidang pendidikan belum sinkron dengan pembangunan bidang kebutuhan pasar ketenagakerjaan. Pembangunan bidang infrastruktur belum menyentuh pada pemenuhan kebutuhan anak dan atau kelompok yang rentan. Penyediaan infrastruktur perkotaan masih mengabaikan kepentingan terbaik anak.
Ada dua arus yang berkembang pada saat kita menyusun dan merancang kota layak bagi anak. Pertama, harus adanya pengarustamaan hak anak dalam pembangunan. Arus ini menghendaki seluruh orang dewasa yang ada di setiap pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan, sebelum mengambil dan memutuskan kebijakan, perlu mengajukan pertanyaan “Apakah sudah ada kepentingan terbaik bagi anak di dalamnya?” Jika belum ada, maka proses tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga diketemukan adanya ‘kepentingan terbaik bagi anak’. Hal ini tidak sederhana, namun upaya untuk mewujudkannya, harus menjadi pertimbangan utama.
Kedua, pihak yang mengetahui ‘kepentingan terbaik anak’ adalah anak. Upaya yang perlu ditempuh untuk menggali kebutuhan adalah melalui partisipasi anak. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa yang paling tahu dan paham kepentingan anak adalah anak itu sendiri. Untuk itu, para pemangku kepentingan di bidang anak, berkomunikasi secara efektif dengan anak untuk menggali kebutuhan anak. Sehingga pada saat pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan anak.
Kemitraan dan Partisipasi
Untuk mewujudkan ‘KLA’ perlu diperkokoh kemitraan pemerintah dengan para pelaku lain yang akan memberikan kontribusi yang unik. Selain itu melalui kemitraan dan partisipasi ini akan mendorong pemanfaatan segala jalur partisipasi untuk mensejahterahkan dan meningkatkan perlindungan hak anak.
Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini menurut the International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran projek dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Selanjutnya adalah pembagian peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan KLA. Peran yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi.
Peran dari para pihak ini perlu dipertegas, seperti uraian berikut:
a. Pemerintah - Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.
b. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia - APKSI/APEKSI sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota - Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA.
d. Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan - Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
e. Sektor Swasta dan Dunia Usaha - Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA.
f. Lembaga Internasional - Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.
g. Komuniti (Masyarakat) - Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi yang obyektif dalam proses monitoring dan evaluasi.
h. Keluarga - Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
i. Anak – anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.
Inisiatif KLA
Inisiatif KLA ini telah diadaptasi oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di 5 kabupaten/kota, yaitu Kota Jambi di Provinsi Jambi, Kota Surakarta (Solo) di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sidoarjo di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur, dan terakhir Kabupaten Gorontalo di Provinsi Gorontalo. Sedangkan pada tahun 2007 ditunjuk 10 kabupaten/kota, yaitu Aceh Besar (Nanggroe Aceh Darussalam), Kabupaten OKI (Sumatera Selatan), Kota Padang (Sumatera Barat), Lampung Selatan (Lampung), Kabupaten Karawang (Jawa Barat), Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kota Malang (Jawa Timur), Kota Pontianak (Kalimantan Barat), Kota Manado (Sulawesi Utara), dan Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Selain itu atas inisiatif Pemda sendiri KLA telah diperkenalkan di Kota Bandung, Kabupaten Kuningan, Kota Bogor, Kota Yogyakarta dan Kota Banjar. KLA juga diinisiasi di Kota Semarang dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah atas dukungan NGO Internasional (CCF).
Catatan Akhir
Kata kunci dalam proses mewujudkan KLA adalah ketulusan dan keikhlasan orang dewasa menerima kehadiran anak di tiap proses pembangunan kota dan pemberian kesempatan oleh orang dewasa kepada mereka.>Menurut Almarhum Dr. Mansour Fakih, bahwa “Pembangunan dan perubahan sosial belum meletakkan anak sebagai subyek, atau paling tidak memperhitungkan anak dalam arah pembangunan. Yang nyaring terdengar dan banyak tersosialisasi adalah bagaimana membantu orang dewasa untuk memfasilitasi, menghargai, dan menghormati hak anak.”
Sumber : http://kla.or.id (dengan Perubahan)