Sabtu, 30 Maret 2013

Obesitas Landa Anak Indonesia Golongan Ekonomi Bawah


Jakarta : Obesitas atau kegemukan pada anak-anak di Indonesia rupanya tak hanya melanda golongan anak ekonomi atas saja. Anak-anak yang tumbuh di kalangan ekonomi bawah pun mengalami masalah yang sama.

Berdasar hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2007, jika dilihat dari tingkat ekonominya, obesitas banyak diderita oleh anak-anak dari kalangan masyarakat ekonomi bawah. 

"Bukan hanya ekonomi atas yang mengalami obesitas, tapi juga ekonomi bawah. Pada 2007 memang angka dari golongan ekonomi rendah lebih besar dibanding ekonomi tinggi," kata Scientific Director Asia Pacifik R&D Danone Baby Nutrition Dr. Jacques Bindels, di Jakarta, Kamis (21/3/2013)

Menurut Jacq, kondisi inilah yang harus segera diubah. Jangan sampai pada tahun 2025 pertumbuhan obesitas di Indonesia makin melonjak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi peningkatan jumlah obesitas pada 2025. 

Bukan hanya itu, jumlah penderita penyakit tidak menular di Indonesia juga akan meningkat akibat banyaknya kasus obesitas. "Saat ini, penyakit tidak menular akibat obesitas sudah cukup tinggi seperti stroke, hipertensi, dan diabetes," jelasnya.

Jacq menambahkan bahwa Indonesia sejak tahun 2000 mengalami peningkatan jumlah kasus penderita diabetes. Yang pada tahun 2000 hanya 8,4 juta, diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Untuk itu, obesitas harus segera ditangani dengan perencanaan gizi yang baik bagi anak pada 1.000 hari pertama kehidupannya.

Sumber : health.liputan6.com

STOP MEMBERI UANG DI JALAN: MASA DEPAN ANAK AKAN HILANG


Penghasilan Anak Jalanan Rp 200.000 Per Hari
Masyarakat diimbau tidak lagi memberikan uangnya untuk anak-anak yang berada di jalan. Sebab, dengan penghasilan yang cukup besar, anak-anak tersebut akan tetap memilih berada di jalan.
Ketua Satgas Perlindungan Anak Muhammad Ihsan mengatakan, dengan penghasilan rata-rata Rp 200.000 per hari, atau sekitar Rp 3 juta per bulan, anak-anak jalanan ini tentunya akan terus hidup di jalan dan tidak akan mempunyai masa depan.
“Anak-anak ini mendapatkan penghasilan yang luar biasa di jalan. Jadi, mereka akan terus hidup di jalan dan tidak mempunyai kesadaran akan masa depannya,” ujarnya ketika ditemui di Lapangan Menteng, Selasa (26/3/2013).
Untuk itu, Satgas PA sudah menyiapkan situs web khusus untuk masyarakat yang ingin menyumbangkan dananya kepada anak-anak jalanan ini. Bagi yang ingin menyumbang, bisa dapat langsung mengakses ke situs www.bebasdarijalan.com.
Pada situs milik Satgas PA ini, masyarakat dapat memilih ke mana dana tersebut akan disumbang. Nanti akan keluar foto-foto anak jalanan dan bisa langsung memilih sendiri anak-anak yang mau disumbangkan. Setelah itu, akan keluar nomor rekening yang akan langsung terkirim ke anak yang dipilih tersebut.
“Ada dua pilihan, bisa langsung menyumbang sekali ataupun menyumbang bulanan. Kalau yang bulanan minimal Rp 100.000,” kata Ihsan.
Saat ini, tercatat sekitar 230.000 anak-anak hidup di jalan, 12.000 di antaranya memenuhi Ibu Kota, dan terdapat 44 titik rawan anak jalanan yang berada di Jakarta.
Anak-anak yang terdiri dari usia 0-18 tahun ini hidup tanpa jaminan masa depan. Bahkan jaminan bahwa keamanan mereka terjaga pun tidak mereka miliki. Hal ini terlihat jelas dari maraknya kekerasan baik fisik maupun seksual yang melibatkan anak-anak.

Sumber: Kompas.com

Kamis, 28 Maret 2013

Kesenjangan Anak Kaya Dan Miskin Semakin Lebar



Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia menyatakan kendala utama kemiskinan Indonesia saat ini ialah program kebijakan umum bantuan sosial tidak efektif. Hal itu berimbas pada kesenjangan si kaya dan si miskin di anak-anak yang semakin lebar.
Anggota Pusaka PA Irwanto mengatakan kebijakan pemerintah harus memastikan kebutuhan dasar dari kaum miskin terpenuhi. Kemiskinan membuat ketidakadilan pada kelompok anak-anak.
"Diperlukan program untuk membantu mereka yang saat ini miskin untuk keluar dari kemiskinan menjadi penting," ujarnya dalam seminar di Hotel Morrisey, Jakarta, Jumat (15/2).
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus melindungi kelompok rentan untuk jatuh dalam kemiskinan. Kuncinya ialah kesetaraan dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan.
"Selama ini berbagai strategi dan program yang ada belum juga menangani hal-hal rentan untuk mengeluarkan anak-anak tersebut dari kemiskinan di masa mendatang," tuturnya.
Lembaga Save The Children menambahkan berdasarkan laporan pihaknya terlihat bahwa saat ini ketimpangan antara anak-anak kaya dan miskin semakin melebar. Ketimpangan meningkat sekitar 35 persen atau hampir dua kali lipat dari kalangan dewasa.
Ketimpangan ini berakibat pada kesehatan, pendidikan, dan daya tahan anak-anak untuk hidup serta meningkatkan kemungkinan mereka menderita berbagai penyakit tidak berkembang secara optimal serta tidak dapat menyelesaikan sekolah.

Sumber : www.merdeka.com

PEMERINTAH YANG MULAI TERBUKA PADA ASPIRASI 'ANAK'

Kamis, 21 Maret 2013,

Bertempat di Ruang Arahiwang, Kantor Sekertaris Daerah, Kabupaten Purworejo. 2 orang anak perwakilan dari Forum Komunikasi Anak Kabupaten Purworejo, sekaligus mewakili aspirasi Anak Se-Kabupaten Purworejo, mengikuti kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah (Musrenbang), Kabupaten Purworejo.
Kegiatan Musyawarah dihadiri oleh mayoritas dari Pejabat daerah terkait serta instrumen-instrumen pemerintahan.
Acara diawali dengan pembukaan yang diisi oleh sambutan Panitia penyelenggara ,sambutan Wakil Bupati Purworejo, dan sambutan Ketua DPRD serta selanjutnya diisi dengan sambutan dan paparan materi oleh Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah.
Kegiatan dimulai dengan pemukulan gong oleh Wakil Bupati Purworejo yang dilanjutkan dengan Sidang Pleno 1, diisi paparan materi oleh Kepala Bappeda Kabupaten Purworejo.
Dan pada acara inti, dilanjutkan dengan Sidang Komisi, dalam sidang tersebut peserta sidang dibagi menjadi tiga kelompok menurut bidangnya masing-masing,
dari perwakilan Forkare, masuk dalam bagian Pemerintahan dan Sosial Budaya,
pada momen ini, Forkare mengajukan usulan penambahan anggaran guna pertumbuhan dan kemajuan Forkare dalam menjalankan tugasnya sebagai penyambung aspirasi anak Purworejo di pemerintahan, dalam hal ini.
Sidang Komisi tersebut berjalan selama 1,5 jam. dan berjalan lancar.

Semoga, langkah awal kami di roda pemerintahan ini dapat membuahkan hasil. :-)

Minggu, 17 Maret 2013

Kota Layak Anak

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak 5 September 1990. Hal ini merupakan komitmen Indonesia dalam menghormati dan memenuhi hak anak. Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B (2), dan operasionalnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak.


Kota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten, belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dan kemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLA merupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.
Kota Layak Anak dan atau Kota Ramah Anak kadang-kadang kedua istilah ini dipakai dalam arti yang sama oleh beberapa ahli dan pejabat dalam menjelaskan pentingnya percepatan implementasi Konvensi Hak Anak ke dalam pembangunan sebagai langkah awal untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak.

Delapan belas tahun yang lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin setiap anak diberikan masa depan yang lebih baik dengan ratifikasi Konvensi Hak Anak.5 Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam laporan Pemerintah Indonesia mengenai Pelaksanaan Konvensi Hak Anak ke Komite Hak Anak, Jenewa,6 lebih banyak anak bersekolah dibandingkan di masa sebelumnya, lebih banyak anak mulai terlibat aktif dalam keputusan menyangkut kehidupan mereka, dan sudah tersusun pula peraturan perundang-undangan penting yang melindungi anak.7 Kondisi ini menjadi point penting dalam mempercepat pembentukan KLA.
Namun hasil yang dicapai ini tidak merata, dan berbagai kendala pun masih tetap ada, terutama di beberapa kabupaten dan kota yang tertinggal. Masa depan cerah bagi anak barulah merupakan ‘khayalan’ semata, dan pencapaian itu pada umumnya kurang memenuhi kewajiban pemerintah dan komitmen negara.

Keluarga sebagai unit dasar dari masyarakat yang menjadi penentu keberhasilan dalam mempercepat terwujudnya komitmen negara belum mendapat bantuan dan bimbingan secara teratur, terorganisasi, dan terjadwal. Tanggung jawab utama untuk melindungi, mendidik dan mengembangkan anak terletak pada keluarga. Akan tetapi segenap lembaga pemerintah dan masyarakat belum banyak membantu. Seharusnya lembaga tersebut menghormati hak anak dan menjamin kesejahteraan anak serta memberikan bantuan dan bimbingan yang layak bagi orangtua, keluarga, wali, dan pihak-pihak yang mengasuh anak supaya dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan stabil serta suasana yang bahagia, penuh kasih dan pengertian. Selain itu, ada pemahaman yang berbeda-beda di kalangan orangtu mengenai arti anak. Pada sebagian orangtua memahami anak sebagai ‘amanah’ dan ‘titipan’ yang harus dilindungi dan dihargai. Sedangkan pada sebagian orangtua ‘anak’ sebagai ‘aset keluarga’ dan ‘anak harus mengerti orangtua8’. Pemahaman yang terakhir ini kadang-kadang anak menjadi korban perdagangan anak, eksploitasi ekonomi dan seksual, serta tumbuh dan berkembangnya terabaikan.

Persoalan lain yang cukup dasar adalah kemiskinan yang menjadi satu-satunya kendala terbesar yang merintangi upaya memenuhi kebutuhan, melindungi dan menghormati hak anak. Seharusnya hal ini mendapat perhatian dan sokongan dari pemerintah dan masyarakat. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi persoalan ini di berbagai kabupaten dan kota belum terencana dengan baik dari penciptaan lapangan kerja, ketersediaan mikro-kredit sampai investasi di bidang infrastruktur. Anak-anak adalah warga yang paling terpukul oleh kemiskinan, karena kemiskinan itu sangat mendera mereka untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Prof. Irwanto, PhD bahwa “Salah satu paradoks pembangunan manusia modern adalah diakuinya anak-anak sebagai masa depan kemanusiaan, tetapi sekaligus sebagai kelompok penduduk yang paling rentan karena sering diabaikan dan dikorbankan dalam proses pembangunan itu sendiri. Ketika ekonomi membaik dan pembangunan di segala bidang bergairah, kepentingan anak tidak menjadi prioritas. Akan tetapi, manakala ekonomi memburuk, konflik berkecamuk, kekacauan sosial berkembang di mana-mana, anak menjadi korban atau dijadikan tumbal untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa”.

Media masa belum mengambil peran secara proporsional. Isu-isu anak selalu kalah dalam berebut ‘kapling’ atau ruang di media masa, cetak maupun elektronik, dan selalu kalah bersaing dengan isu-isu politik yang mendominasi pemberitaan di media. Konsekuensi adalah bahwa opini dan pemahaman publik terhadap isu-isu anak tertinggal sangat jauh dari yang semestinya. Bila ditemui media yang mengangkat isu anak dalam segmen acara ataupun porsi pemberitaannya kesan yang timbul justru potensi pelecehan terhadap hak anak. Karena  menempatkan anak sebagai obyek program sehingga sangat banyak ditemui pemberitaan dan program dalam media masa yang justru menjauhkan anak-anak dari originalitas budayanya dan bahkan membuat anak-anak Indonesia terkontaminasi oleh budaya asing.
Dari uraian di atas, tergambar bahwa ada tantangan besar untuk mempercepat implementasi hak anak di tingkat orangtua, masyarakat, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional pada masa kini dan masa datang. Padahal masalah bukan hanya anak, namun, jika kita tidak segera berinisatif, dikhawatirkan kepentingan terbaik bagi anak terabaikan. Artinya, hak tumbuh dan berkembang mereka kurang optimal, yang akan berujung pada hilangnya satu generasi bangsa.

Prasyarat Mewujudkan KLA
Mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu pra-syarat untuk mencapainya. Pra-syarat yang dimaksud adalah:
a. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.
b. Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi.
c. Sosialisasi hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan orang dewasa.
d. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya sedia peraturan perundangan mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
e. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pembuatan keputusan.
f. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.
g. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
h. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semua upaya pemenuhan hak anak.

Mewujudkan KLA
KLA adalah kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak:
a. keputusannya mempengaruhi kotanya;
b. dapat mengekspresikan pendapatnya mengenai kota yang mereka inginkan;
c. dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
d. dapat mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
e. dapat mengakses air minum segar dan tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang baik;
f.  terlindungi dari eksploitasi, kekerasan dan penelantaran;
g. merasa aman berjalan di jalan;
h. dapat bertemu dan bermain dengan temannya;
i.   hidup di lingkungan yang bebas polusi;
j.  berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
k. secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Kunci sukses untuk mewujudkan kota layak bagi anak adalah adanya keikhlasan dan ketulusan orang dewasa mengutamakan kepentingan terbaik anak. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa anak belum menjadi pertimbagan utama dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan. Sehingga, dampak pembangunan kurang optimal untuk mempersiapkan suatu generasi yang tangguh. Pembangunan bidang pendidikan belum sinkron dengan pembangunan bidang kebutuhan pasar ketenagakerjaan. Pembangunan bidang infrastruktur belum menyentuh pada pemenuhan kebutuhan anak dan atau kelompok yang rentan. Penyediaan infrastruktur perkotaan masih mengabaikan kepentingan terbaik anak.
Ada dua arus yang berkembang pada saat kita menyusun dan merancang kota layak bagi anak. Pertama, harus adanya pengarustamaan hak anak dalam pembangunan. Arus ini menghendaki seluruh orang dewasa yang ada di setiap pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan, sebelum mengambil dan memutuskan kebijakan, perlu mengajukan pertanyaan “Apakah sudah ada kepentingan terbaik bagi anak di dalamnya?” Jika belum ada, maka proses tersebut perlu ditinjau ulang, sehingga diketemukan adanya ‘kepentingan terbaik bagi anak’. Hal ini tidak sederhana, namun upaya untuk mewujudkannya, harus menjadi pertimbangan utama.
Kedua, pihak yang mengetahui ‘kepentingan terbaik anak’ adalah anak. Upaya yang perlu ditempuh untuk menggali kebutuhan adalah melalui partisipasi anak. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa yang paling tahu dan paham kepentingan anak adalah anak itu sendiri. Untuk itu, para pemangku kepentingan di bidang anak, berkomunikasi secara efektif dengan anak untuk menggali kebutuhan anak. Sehingga pada saat pengambilan keputusan sesuai dengan kepentingan anak.

Kemitraan dan Partisipasi
Untuk mewujudkan ‘KLA’ perlu diperkokoh kemitraan pemerintah dengan para pelaku lain yang akan memberikan kontribusi yang unik. Selain itu melalui kemitraan dan partisipasi ini akan mendorong pemanfaatan segala jalur partisipasi untuk mensejahterahkan dan meningkatkan perlindungan hak anak.
Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini menurut the International Union of Local Authorites membentuk suatu lingkaran projek dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Selanjutnya adalah pembagian peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan KLA. Peran yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi.
Peran dari para pihak ini perlu dipertegas, seperti uraian berikut:
a.        Pemerintah - Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.
b.  Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia - APKSI/APEKSI sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.
c.  Pemerintah Kabupaten/Kota - Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA.  
d. Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan - Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
e. Sektor Swasta dan Dunia Usaha - Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA.
f.  Lembaga Internasional - Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.
g. Komuniti (Masyarakat) - Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi yang obyektif dalam proses monitoring dan evaluasi.
h. Keluarga - Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
i.  Anak – anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.
Inisiatif KLA
Inisiatif KLA ini telah diadaptasi oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di 5 kabupaten/kota, yaitu Kota Jambi di Provinsi Jambi, Kota Surakarta (Solo) di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Sidoarjo di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur, dan terakhir Kabupaten Gorontalo di Provinsi Gorontalo. Sedangkan pada tahun 2007 ditunjuk 10 kabupaten/kota, yaitu Aceh Besar (Nanggroe Aceh Darussalam), Kabupaten OKI (Sumatera Selatan), Kota Padang (Sumatera Barat), Lampung Selatan (Lampung), Kabupaten Karawang (Jawa Barat), Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kota Malang (Jawa Timur), Kota Pontianak (Kalimantan Barat), Kota Manado (Sulawesi Utara), dan Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur).
Selain itu atas inisiatif Pemda sendiri KLA telah diperkenalkan di Kota Bandung, Kabupaten Kuningan, Kota Bogor, Kota Yogyakarta dan Kota Banjar. KLA juga diinisiasi di Kota Semarang dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah atas dukungan NGO Internasional (CCF).

Catatan Akhir
Kata kunci dalam proses mewujudkan KLA adalah ketulusan dan keikhlasan orang dewasa menerima kehadiran anak di tiap proses pembangunan kota dan pemberian kesempatan oleh orang dewasa kepada mereka.>Menurut Almarhum Dr. Mansour Fakih, bahwa “Pembangunan dan perubahan sosial belum meletakkan anak sebagai subyek, atau paling tidak memperhitungkan anak dalam arah pembangunan. Yang nyaring terdengar dan banyak tersosialisasi adalah bagaimana membantu orang dewasa untuk memfasilitasi, menghargai, dan menghormati hak anak.” 

Sumber : http://kla.or.id (dengan Perubahan)





Sabtu, 16 Maret 2013

Perceraian Rentan Sebabkan Kekerasan Terhadap Anak

 
Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan peningkatan angka kekerasan yang dialami anak Indonesia dari tahun 2011 ke 2012. Salah satu faktor rentan yang menyebabkan anak mengalami kekerasan adalah perceraian orangtua.

Berdasarkan hasil survei, Ketua Satgas Perlindungan Anak, M Ihsan, menyatakan pihaknya menemukan sebanyak 2.275 kasus kekerasan anak di tahun 2011. Jumlah ini meningkat tajam di tahun 2012, yaitu sebanyak 3.871 kasus. Sementara untuk tahun 2013 yang belum genap menginjak semester awal, KPAI mencatat 919 kasus kekerasan dialami anak.

"Hasil survei ini menunjukan bahwa anak rentan mengalami kekerasan, akibat perceraian anak yang belum baligh ikut ibunya. Kecuali ada ketentuan hukum yang membuktikan bahwa ibunya tidak layak mengasuh anak," ujar Ihsan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/3/2013).

Penelitian sendiri dilakukan Mei 2012 di 9 Provinsi terhadap 1.026 responden anak SD sampai SMA. Hasilnya 87 persen responden mengalami kekerasan dalam keluarga dengan rincian 38 persen pelaku ibu, 35 persen bapak dan sisanya adalah saudaranya.

Ihsan menuturkan perceraian orang tua selalu menempatkan anak sebagai korban. Mereka beralasan keputusan cerai merupakan langkah yang paling tepat. Padahal sebelum menikah mereka dudah diajarkan oleh agama bagaimana membina rumah tangga yang baik.

"Umumnya perceraian terjadi karena lemahnya persiapan perkawinan dan pembinaan keluarga. Seharusnya sejak remaja sudah diberi pendidikan pra nikah," ungkap Ihsan.

Sebelumnya salah seorang anak menjadi korban kekejaman ibu tirinya. Menurut keterangan polisi, korban berinisial VN mengalami luka parah dibagian kepala akibat pukulan ibu tirinya. Kemudian Korban dilarikan ke RS Siloam tapi sayang tidak dapat diselamatkan. Akibat perbuatannya, pelaku diancam 10 tahun ditambah 1/3 UU perlindungan anak pasal 80.

Diketahui Ayah korban berprofesi sebagai sopir tembak tinggal di rumah kontrakan dengan istri dan mertuanya sejak Desember 2012 di Cicurug, Tangerang. Semenjak tinggal dengan ibu tiri, Warga sekitar sering mendengar tangisan korban dan teriakan ibu tiri.

Sumber :http://news.detik.com



6 Nutrisi Penambah Imunitas Anak

Ilustrasi Nutrisi untuk Anak
Sistem kekebalan tubuh atau imunitas yang rendah akan membuat anak mudah mengalami gangguan kesehatan, seperti terkena serangan penyakit ataupun penurunan daya tahan tubuh.
Gangguan tersebut antara lain bisa disebabkan karena kurangnya asupan gizi seimbang dalam menu yang dikonsumsinya.
Dari sekian banyak makanan yang menjadi sumber nutrisi untuk anak, ada beberapa jenis asupan tambahan yang menjadi bahan penambah imunitas bagi anak-anak.
1. Seng
Mineral yang satu ini memiliki fungsi untuk meningkatkan perkembangan tubuh, menambah intelegensia, memperkuat kekebalan tubuh, meningkatkan kesehatan mata, mempercepat regenerasi sel dan sebagainya.
Bahan suplemen ini diketahui banyak terdapat dalam ikan, daging, telur dan produk makanan hewani lainnya.
2. Omega 3
Gabungan antara EPA dan DHA banyak dikenal sebagai Omega 3 yang biasanya terkandung dalam minyak ikan karena kaya kandungan asam lemak yang bermanfaat untuk kesehatan anak.
Adapun jenis ikan yang diketahui banyak mengandung kadar Omega 3 antara lain, Tuna Sirip Biru, Salmon, Herring, Makarel dan Kerang.
3. Prebiotik
Anak-anak sangat dianjurkan untuk mengonsumsi prebiotik karena dapat memperkuat kekebalan tubuh terutama dalam hal saluran pencernaannya.
Sumber prebiotik diketahui banyak terdapat dalam makanan seperti gandum, pisang, bawang putih dan kacang-kacangan.
4. Madu
Jika dikonsumsi oleh anak secara teratur, madu dikatakan bisa menjadi salah satu sumber energi protein yang mampu menjaga stamina tubuh.
Madu juga mengandung zat antibiotik yang secara aktif menghadapi berbagai serangan dari patogen penyebab penyakit.
5. Vitamin C
Kondisi dan fluktuasi lingkungan yang sering berubah, terkadang mengakibatkan kondisi kekebalan tubuh anak menjadi tidak optimal.
Asupan vitamin C memiliki peranan penting bagi anak karena dapat meningkatkan ketahanan terhadap infeksi dan mempercepat masa penyembuhan.
6. Kalsium
Imunitas tubuh anak memiliki tugas dalam melawan berbagai macam kuman dan unsur asing yang masuk kedalam tubuh berkat perintah dari kalsium.
Sumber bahan ini biasanya banyak terdapat dala daging sapi, udang, telur, dan susu. Selain itu, kalsium juga banyak terdapat dalam sayuran hijau seperti brokoli, bayam, daun singkong dan daun pepaya.

Sumber : http://www.beritasatu.com

Menag: Anak Tak Boleh Kehilangan Kesempatan Belajar

FotoJakarta(Pinmas)—Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan, anak tak boleh kehilangan kesempatan untuk belajar di sekolah karena seluruh dana untuk pendidikan dewasa ini telah tercukupi.
Apalagi jika ada anak tak sekolah karena bangunannya rusak atau roboh, maka yang patut disalahkan adalah dinas atau kakanwil setempat, kata Suryadharma Ali seusai meletakkan batu pertama Rumah Susun Sewa (Rusunawa) bersama Menteri Perumahan Djan Faridz di Pondok Pesantren Tambhigul Hofilin, Desa Mantrianom, Banjarnegara, Jawa Tengah, Sabtu.
Nampak hadir pada kesempatan itu para ulama, pengasuh Ponpes Tambhigul Hofilin Muhammad Hamzah dan sejumlah pejabat dari Kakanwil Kemenag Jateng.
Menag Suryadharma Ali menyatakan, dana untuk anak bersekolah sudah cukup. Jika ada orangtua tak mampu, maka pemerintah mengeluarkan bantuan berupa dana bantuan sekolah atau yang dikenal BOS.
Karena itu, menurut SDA, tidak ada alasan bahwa dewasa ini jika dijumpai ada anak tak bersekolah hanya disebabkan orangtua tak mampu atau bangunan sekolah rusak. “Saya akan menjewer Kakanwil jika menjumpai bangunan sekolah rusak terlambat diperbaiki,” katanya.
Perhatian pemerintah terhadap pendidikan demikian besar. Termasuk di dalamnya untuk pondok pesantren dan madrasah. Untuk itu ia datang ke Ponpes di Banjarnegara itu untuk meletakkan batu pertama yang diperuntukan bagi kalangan pengajar di pondok pesantren.
“Saya menyampaikan apresiasi terhadap Kementerian Perumahan yang ikut ambil bagian mendukung kelengkapan pemondokan bagi tenaga pengajar di sini,” kata Suryadharma Ali.
Jasa Pondok Pesantren terhadap kemajuan bangsa demikian besar. Bukan hanya mengisi keimanan bagi para santri, tetapi lebih dari itu Ponpes telah mengembangkan pendidikan agama di berbagai tempat. Melalui pendidikan agama itu pula sekarang dapat dirasakan banyak anak bisa membaca Al Quran, mampu membaca kitab kuning.
“Karena itu membantu pesantren, termasuk di dalamnya melengkapi dengan Rusunawa, merupakan kewajiban pemerintah,” ia menegaskan.
Banyak program dari pendidikan di Ponpes harus didukung para ulama. Kesemuanya untuk meningkatkan kualitas dari pendidikan anak. Ulama dan para kiai tak boleh berdiam diri. “Saya minta para ulama hendaknya lebih agresif untuk memajukan pendidikan,” ia menambahkan.
Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya selama 2010 sampai 2013 telah membangun 82 unit Rusunawa di berbagai tempat. Termasuk di Jawa Tengah. Kedepan, pembangunan Rusunawa akan ditingkatkan dua kali lipat, yaitu 200 unit di 28 provinsi. Pihaknya memprioritasnya pembangunannya di lingkungan lembaga pendidikan agar kualitas pendidikan makin baik ke depannya.
“Kami sangat peduli dengan pembangunan Rusunawa di lingkungan lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya pondok pesantren,” kata Djan.

Benarkah Kecerdasan Anak Warisan dari Orang Tua?








Benarkah Kecerdasan Anak Warisan dari Orang Tua?TEMPO.CO, Queensland -- Sebuah studi baru mengklaim bahwa empat puluh persen kecerdasan anak diturunkan dari orangtua. Temuan tentang kecerdasan pada diri seseorang terus saja menuai perdebatan apakah itu hasil produk alam atau hasil didikan.

Para peneliti dari University of Queensland menggunakan data genetik dan skor IQ dari ribuan anak dari empat negara. Mereka menemukan bahwa antara 20 hingga 40 persen dari variasi IQ anak adalah karena faktor genetik. "Perkiraan dari informasi DNA memang lebih rendah dari studi keluarga. Tetapi kesimpulan kami konsisten bahwa kecerdasan anak adalah hasil warisan," kata Dr Beben Benyamin.

Dr Benyamin dan rekan menganalisa sampel DNA dan skor IQ dari 18 ribu anak berusia 6 sampai 18 tahun dari Australia, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Mereka mencari setiap korelasi antara pola perbedaan DNA anak-anak dengan pola perbedaan IQ mereka.

Temuan menunjukkan bahwa gen yang dikenal sebagai FNBP1L secara signifikan berkaitan dengan kecerdasan anak. Gen yang sama sebelumnya telah ditampilkan sebagai gen yang paling signifikan dalam memprediksi kecerdasan orang dewasa.

Biasanya ketika melihat bagaimana faktor genetik mempengaruhi sifat individu, ilmuwan lebih memilih mencari varian gen yang dikenal sebagai single-nucleotide polymorphisms (SNPs). Gen ini memberikan informasi genetik yang lebih tepat. Namun, studi ini tidak menemukan varian gen SNP tunggal kuat yang dalat memprediksi kecerdasan anak.

"Tapi ketika melihat efek gabungan dari semua SNP, kami dapat mengestimasi kontribusi genetik sekitar 20 hingga 40 persen akan perbedaan IQ," kata Dr Benyamin. Itu berarti bahwa kemungkinan banyak gen berkontribusi terhadap kecerdasan anak-anak. Masing-masing memiliki efek kecil tetapi sifatnya kumulatif. Temuan ini juga dapat membantu peneliti untuk lebih memahami cacat intelektual.

Perjalanan Panjang Konvensi Hak Anak Di Indonesia

 
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen international tentang hak asasi manusia. Perumusan naskah KHA dimulai sejak tahun 1979 dan dalam waktu 10 tahun kemudian tepatnya, pada tanggal 20 November 1989, naskah akhir konvensi dapat diterima dan disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB.
Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1 KHA diberlakukan sebagai hukum HAM internasional pada 2 September 1990. Indonesia meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 sehingga tahun ini kita sudah lebih dari 10 tahun meratifikasi KHA. Sampai sejauhmana implementasinya ? Berikut adalah tulisan Bambang Budi Setiawan - Humas Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang telah menemui beberapa nara sumber.
Implikasi dari sebuah ratifikasi adalah kewajiban untuk melaksanakan seluruh kesepakatan yang tercantum didalamnya. Dengan meratifikasi KHA Indonesia secara teknis telah dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan yang terkandung dalam KHA. Hampir semua negara di dunia telah meratifikasi KHA, sampai tahun 1999 tinggal dua negara di dunia yaitu Somalia dan Amerika Serikat.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 2 KHA dinyatakan berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Oktober 1990. Sesuai dengan ketentuan di dalam konvensi negara peserta wajib mengimplementasikan berbagai ketentuan yang terkandung di dalam konvensi.
Akan tetapi meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA, fakta menunjukkan bahwa pelanggaran demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus terjadi, bahkan telah mencapai pada bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi oleh akal sehat manusia (the most intolerable forms). Lebih-lebih pada masa sulit sekarang ini, dimana bangsa Indonesia sedang dilanda krisis dalam berbagai bidang permasalahan anak kian meningkat. Selain itu, perkembangan masyarakat yang makin kompleks telah memberikan pengaruh buruk terhadap pengasuhan dan perawatan anak dalam perwujudan hak anak, eksploitasi anak secara ekonomi dan seksual komersial, kekerasan dan penyalahgunaan seksual, penelataran dan bentuk pelanggaran hak anak lainnya baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan akan tetapi pemenuhan terhadap hak anak-anak di Indonesia masih belum terpenuhi secara optimal.
Apa Yang Telah Dicapai ?
"Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang baik-baik saja kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia pendidikan dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk. Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan pada laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba menerapkan KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang dapat kita laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir salah satu pemerhati anak.
Diakui oleh Yaumil,"Karena kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk dan kemudian banyak anak-anak yang secara ekonomi terlibat di luar rumah entah sebagai pelacur anak, pekerja anak, ataupun anak jalanan, itu bukanlah salah mereka. Itu salah kita kenapa pemerintah tidak dapat memberikan kesejahteraan untuk mereka".
Menanggapi hal tersebut di atas Prof.Dr.Lily I Rilantono mantan anggota Komisi Hak Anak PBB yang juga Ketua Umum YKAI Pusat mengatakan, "Dalam memberikan JPS dan program lain, kita harus menyadari masalah yang sangat mendasar yaitu berubahnya nilai-nilai. Hal ini kalau tidak ditangani secara simultan akan lebih terpuruk. Disamping itu penanganan seharusnya juga lebih mendasar dan bersifat holistik. Ambil misalnya anak jermal, di Medan yang kalau diteliti mereka katanya sudah diintervensi program di darat oleh pemerintah daerah dan LSM. Akan tetapi mereka ternyata kembali ke jermal. Dan itu memang memerlukan pengembangan holistik dimana dia berasal. Mereka bukan berasal dari pantai akan tetapi dari daerah yang tidak ada pembangunan sosial.
Jadi pendekatan kita memang perlu secara cepat akan tetapi jangan lupa dengan holistik approach. Jadi kalau masyarakat desa itu tidak dibangun lebih dulu, begitu pula dengan nilai-nilainya, apakah nilai yang sudah merosot ataukah nilai yang harus dibangun sehingga ini merupakan solusi yang holistik untuk masa depan. Dan itu harus bareng-bareng, karena itu masyarakat harus berjuang asal dapat dukungan dari pemerintah.
Isu Anak Tak Menarik
Disamping implementasi yang masih amat kurang, ternyata kecenderungan yang tampak, masalah anak saat ini masih dilihat bukan karena masalah yang krusial signifikan, melainkan hanya karena "sedang musim dibicarakan". Hal ini dibenarkan Prof.Dr.Emil Salim, "Anak kadang memang tak masuk agenda politik dan partai politik serta tak pernah dibicarakan di DPR, karena tak bisa dijadikan tenaga pendukung politik.
Isu anak dinilai tak menarik (non-marketable) dan sering tidak diacuhkan karena dianggap "biayanya melebihi manfaat kegunaannya".
Adanya Komisi Nasional Perlindungan Anak sebetulnya diharapkan banyak pihak untuk membantu menjembatani loby kepada pihak lain akan pentingnya masalah anak. Akan tetapi menurut Maria Hartiningsih jurnalis harian Kompas yang sudah lebih dari 10 tahun malang melintang mengungkap masalah anak di Indonesia, "Sekarang kita sudah punya Komisi Nasional Perlindungan Anak, tapi efektifitas dan kerjanya saya ragukan. Apa yang sudah dilakukan mereka nggak jelas ? Saya masih melihat komisi ini masih mencari bentuk dan belum tahu apa yang seharusnya dikerjakan".
Pengakuan serupa dilontarkan oleh DR.Irwanto, mantan Ketua I Komisi Nasional Perlindungan. "Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang baik-baik saja kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia pendidikan dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk. Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan pada laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba menerapkan KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang dapat kita laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir, salah satu pemerhati anak.
Ditambahkannya guna mendapatkan hak dalam mengenyam pendidikan maka pemerintah mencoba menyalurkannya dengan Jaring Pengaman Sosial yang pada waktu krisis ekonomi dan sosial itu menurun angka partisipasi kasarnya dimana sebelum krisis.
Bagaimana KHA di Indonesia ?
Secara hukum dan perundangan, sebetulnya telah banyak yang dilakukan oleh negara pihak (state party) yaitu pemerintah Republik Indonesia seperti telah diundangkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang memuat berbagai ketentuan tentang masalah anak di Indonesia. Selanjutnya juga telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang semenjak tahun tersebut telah diperingati. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1989 telah ditetapkan tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum terciptanya Dasawarsa Anak Indonesia 1 tahun 1986 - 1996 dan Dasawarsa Anak II tahun 1996 - 2006.
Untuk melaksanakan koordinasi peningkatan kualitas anak telah ditetapkan Instruksi Presiden No. 3 tahun 1997. Disamping itu juga telah diundangkan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja (15 tahun) dan Undang-Undang No.1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Yang cukup mendasar mungkin adalah Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RAN-HAM) telah menempatkan masalah anak dalam program aksi pemajuan dan peningkatan hak anak. Kemudian UU No. 33 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah menempatkan hak anak sebagai bagian integral Hak Asasi Manusia. Hal ini dapat terlihat dari 106 pasal yang mengatur Hak Asasi Manusia terdapat 15 pasal yang mengatur tentang hak anak yakni pasal 52 sampai dengan pasal 66.
Namun sayangnya, langkah-langkah tersebut belum diikuti oleh kesadaran aparatur negara maupun masyarakat, bahwa anak secara hukum mempunyai hak fundamental untuk mendapatkan perlindungan yang memadai. Ada kesan bahwa langkah secara hukum masih sebatas slogan politik dan lips service. Kesan ini terlihat bahwa kebijakan politik pembangunan Indonesia belum sensitif pada hak anak sehingga pelanggaran demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Selain itu komitmen Indonesia dalam mengambil langkah hukum juga belum diikuti harmonisasi dengan peraturan yang lainnya. Sehingga sering tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang.
Ini dibenarkan oleh DR.Irwanto yang juga Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan YKAI. "Kultur birokrasi yang amat kental masih terlihat pada kebijakan pemerintah yang tidak pro-anak. Oleh para birokrat persoalan anak dianggap "ringan" dan "a-politis". Ini tampak dari pembahasan untuk pembuatan kebijakan atau peraturan yang waktunya hanya dalam bilangan minggu. Bandingkan dengan pembahasan masalah lain, apalagi yang berkaitan dengan masalah yang dianggap paling penting, yakni ekonomi dan politik.
Pemantauan Pelaksanaan KHA Di Indonesia
Salah satu kewajiban negara yang sudah meratifikasi KHA adalah membuat laporan kepada PBB. Untuk Indonesia laporan implementasi Konvensi Hak Anak kepada Komite Hak Anak PBB baru dilakukan pertama pada tahun 1992. "Seharusnya laporan pemerintah Indonesia yang kedua harus sudah masuk tahun 1997", ujar Mohammad Farid, koordinator pembuatan laporan yang juga anggota NGO Group for the Yogyakarta. Konon laporan kita dikembalikan tahun 1997 karena tidak mencantumkan kasus Santa Cruz, Dili tahun 1991, sehingga dikembalikan oleh PBB.
Perlunya Komisi Nasional Hak Anak
Belajar dari pengalaman Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka pemerintah sudah selayaknya membuat Komisi Nasional Hak Anak sebagai salah satu wujud dari implementasi KHA. Komisi ini dipilih dan ditetapkan oleh DPR dan mewakili berbagai kelompok masyarakat dan disahkan dengan Undang-Undang. Dengan adanya komisi ini maka pelaporan KHA baik secara periodik maupun alternative report akan menjadi sesuatu hal yang melekat dalam mekanisme tugas komisi, disamping tentunya ada fungsi-fungsi advokasi yang mencakup semua hak dasar dalam KHA yaitu Hak untuk kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.
Disisi lain, guna mengkoordinasikan kegiatan penanganan masalah anak-anak di Indonesia secara mandiri baik oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat maka sudah selayaknya juga dibentuk Badan Khusus yang menangani kebijaksanaan nasional masalah anak yang terdiri dari lintas sektoral dan beranggotakan LSM, media, masyarakat. Badan ini diharapkan dapat langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Di negara tetangga kita Malaysia, badan sejenis dinamakan Majelis Kebijakan Kanak-Kanak yang langsung bertanggung jawab kepada Perdana Menteri dan mengkoordinasikan penanganan masalah anak.
-------
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)